Sabtu, 23 November 2013

JABATAN FUNGSIONAL PUSTAKAWAN DI INDONESIA ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

BAB I
PENDAHULUAN

I.              Latar Belakang Masalah

Pustakawan adalah orang yang bekerja di perpustakaan atau lembaga sejenisnya dan memiliki pendidikan perpustakaan secara formal (di Indonesia kriteria pendidikan minimal D2 dalam bidang ilmu perpustakaan, dokumentasi, dan informasi).
Di Indonesia, pustakawan diakui sebagai suatu profesi sejak tahun 1988 berdasarkan SK MENPAN No. 18/MENPAN/1988 dan diperbaharui dengan SK MENPAN No. 33/MENPAN/1990, yang kemudian diperkuat dengan keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan kewajiban dan hak sebagai profesi dan fungsional pustakawan.
Berkaitan dengan pustakawan sebagai profesi, adakalanya pengakuan tersebut dikaitkan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu PNS yang mendapatkan Surat Keputusan (SK) sebagai pejabat pustakawan. Akibatnya ada diantara pustakawan yang bekerja di perpustakaan tidak menyebut dirinya sebagai pustakawan karena belum memiliki SK. Padahal sebenarnya dalam penentuan profesi pustakawan tersebut, adanya SK PNS tidaklah mempengaruhi, yang penting adalah pendidikan dan pelatihan yang telah diikiti sebagai syarat agar dapat disebut sebagai pustakawan. .(Ranchman & Zulfikar, 2006)

Ketika pustakawan telah diakui sebagai profesi, maka pustakawan mempunyai kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, dan wewenang, dimana hal tersebut lebih sering disebut sebagai jabatan Fungsional. Jabatan fungsional pustakawan itulah yang kemudian akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.

I.              Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada pada latar belakang permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa point pembahasan, antara lain:
a.       Apakah yang dimaksud jabatan fungsional?
b.      Apakah yang dimaksud jabatan fungsional bagi pustakawan berkaitan dengan tugas yang harus dilaksanakan?
c.       Bagaimanakah kenyataan yang ada di Indonesia berkenaan dengan harapan para pustakawan?

BAB II
PEMBAHASAN

I.              Pengertai Jabatan Fungsional
Purwono (2013), jabatan fungsional adalah yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang dalam hal ini pegawai negeri sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanna tugasnya didasarkan pada keahlian dan atau ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri.
Jabatan fungsional pada hakekatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur organisasi, namun sangat diperlukan dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi pemerintah.
Menurut PP. No. 16 tahun 1994 dalam pasal 2 ayat (2)  ditetapkan bahwa jabatan fungsional terbagi menjadi dua, yaitu:
a.       Jabatan fungsional keahlian.
Jabatan fungsional keahlian adalah kedudukan yang menunjukkan tugas yang dilandasi oleh pengetahuan, metodologi dan teknis analisis yang didasarkan atas disiplin ilmu yang bersangkutan dan atau berdasarkan sertifikasi yang setara dengan keahlian dan ditetapkan berdasarkan akreditasi tertentu.
b.      Jabatan fungsional ketrampilan.
Jabatan fungsional ketrampilan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas yang mempergunakan prosedur dan teknik kerja tertentu serta dilandasi kewenangan penanganan berdasarkan sertifikasi yang ditentukan.

II.           Jabatan Fungsional Pustakawan

Pejabat fungsional pustakawan yang selanjutnya disebut pustakawan adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan pustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi (perpusdokinfi) di instansi pemerintah atau unit tertentu lainnya.
Jabatan pustakawan diakui sebagai jabatan fungsional jika telah memenuhi syarat dan kriteria profesinya, yaitu antara lain:
1.        Memiliki metodologi, teknis analisis dan prosedur kerja yang didasarkan pada disiplin ilmu pengetahuan dan atau pelatihan tertentu dan mendapatkan sertifikasi.
2.        Memiliki etika profesi yang diterapkan oleh organisasi profesi (dalam hal ini adalah Ikatan Pustakawan Indonesia/IPI).
3.        Dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan tingkat keahlian bagi jabatan fungsional keahlian dan tingkat ketrampilan bagi jabatan fungsional ketrampilan.
4.        Dalam melaksanakan tugas dapat dilakukan secara mandiri.
5.        Jabatan fungsional pustakawan ternyata diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organsisasi.
6.        Telah memiliki pendidikan tinggi keperpustakaan dan berbagai jenjang studi sejak D2, D3, S1, sampai pada S3.
Seperti halnya jabatan fungsional pada umumnya, jabatan fungsional pustakawan juga terbagi dalam dua kelompok yang terdiri dari tujuh jenjang. Tiga jenjang dalam kelompok pustakawan tingkat terampil, dan empat jenjang dalam kelompok pustakawan tingkat ahli.
a.    Pustakawan tingkat terampil.
Pustakawan tingkat terampil adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya diploma II perpustakaan, dokumentasi, dan informasi atau diploma bidang lain yang disetarakan (Ranchman & Zulfikar, 2006) pustakawan tingkat terampil terdiri dari:
1)        Pustakawan pelaksana.
2)        Pustakawan pelaksana lanjutan.
3)        Pustakawan penyedia.

Dalam jenjang pustakawan tingkat terampil ini, tugas-tugas yang harus dilaksanakan adalah:
·           Pengorganisasian dan pendayagunaan koleksi bahan pustaka atau sumber Informasi. Yang meliputi pengembangan koleksi, pengolahan bahan pustaka atau koleksi, penyimpanan dan pelestarian bahan pustaka dan pelayanan informasi.
·           Pemasyarakatan perpustakaan, dokumentasi, dan informasi. Seperti penyuluhan, publisitas dan pameran.
b.    Pustakawan tingkat ahli.
Pustakawan tingkat ahli adalah pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya sarjana (S1) perpustakaan, dokumentasi, dan informasi atau diploma dibidang lain yang disetarakan (Ranchman & Zulfikar, 2006) pustakawan tingkat ahli terdiri dari:
1)        Pustakawan pertama.
2)        Pustakawan muda.
3)        Pustakawan madya.
4)        Pustakawan utama.
Adapun tugas pokoknya yaitu sama dengan tugas Pustakawan Tingkat Terampil tetapi ditambah dengan Pengkajian Pengembangan perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Pengkajian Pengembangan perpustakaan, dokumentasi dan informasi adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data berdasarkan metodologi tertentu untuk mengetahui kondisi atau akar permasalahan yang ada, dan hasilnya di informasikan kepada pihak lain dalam bentuk laporan. Kegiatan ini meliputi penyusunan instrumen, pengumpulan, pengolahan data, analisis dan perumusan hasil, serta evaluasi dan penyempurnaan hasil kajian



I.              Jabatan Fungsional Pustakawan di Indonesia antara Harapan dan Kenyataan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa seseorang dapat dikatakan mempunyai profesi sebagai pustakawan jika telah menjadi PNS dan mempunyai SK sebagai pejabat pustakawan. Dari hal itulah maka timbul pertanyaan, bagaimana jika seorang dengan pendidikan, ketrampilan serta telah mengikuti pelatihan sebagai pustakawan namun belum mempunyai SK sebagai pustakawan, bahkan dia juga bukan seorang PNS?
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang kemudian melahirkan tuntutan dari para pustakawan yang  bukan PNS tentang adanya standar kompetensi pustakawan dan sertifikasi pustakawan. Banyak diserukan pula dalam tuntutan sertifikasi pustakawan ini bukan berlatar belakang pada tunjangan profesi. Namun lebih pada pencapaian kualitas pustakawan. Adanya tunjangan profesi hanyalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kompetensi yang dimiliki.
Namun pada kenyataannya di Indonesia ini, jabatan fungsional pustakawan seakan tidak terlalu mendapatkan perhatian jika dibandingkan dengan jabatan fungsional dari bidang lain, seperti guru ataupun dosen. Hal tersebut dapat dilihat dari isi Undang-Undang tentang perpustakaan. Dalam pasal 31 disebutkan bahwa tenaga perpustaan berhak atas :
a.    Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejateraan sosial.
b.    Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas
c.    Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas perpustakaan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Coba kita bandingkan dengan isi Undang-Undang Guru dan Dosen. Dalam pasal 14 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
a.    Memperoleh memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
b.    Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
c.    Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual.
d.   Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e.    Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan.
f.       Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundangundangan.
g.    Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas.
h.    Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi
i.      Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.
j.      Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi;
k.    Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
Selain itu, dalam pasal 16 ayat 2 dinyatakan bahwa tunjangan profesi guru diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Yang di resahkan adalah tunjangan profesi pustakawan yang merupakan konsekuensi logis dan yang menyertai kompetensi pustakawan ternyata tidak diatur dalam Undang-Undang Perpustakaan. Berbeda dengan Undang-Undang Guru dan Dosen, jelas menyebutkan bahwa pemegang sertifikasi guru akan mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 kali gaji pokok.
Adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dirasakan para ‘pustakawan’ itulah yang kemudian juga berdampak pada minat generasi penerus pada dunia kepustakawananan. suatu sumber juga mengatakan jika dalam setiap tahunnya jumlah pustakawan itu bukan bertambah, namun malah semakin berkurang.


BAB III
PENUTUP

Dari pembahsan diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa pustakawan adalah orang yang bekerja di perpustakaan atau lembaga sejenisnya dan memiliki pendidikan perpustakaan secara formal (di Indonesia kriteria pendidikan minimal D2 dalam bidang ilmu perpustakaan, dokumentasi, dan informasi).
Di Indonesia, pustakawan diakui sebagai profesi pada tahun 1988, tentu dengan berbagai syarat dan kriteria yang harus terpenuhi. Pejabat fungsional pustakawan yang selanjutnya disebut pustakawan adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan pustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi (perpusdokinfi) di instansi pemerintah atau unit tertentu lainnya.
Adanya kesenjangan antara harapan para pustakawan akan adanya sertifikasi pustakawan dengan kenyataan yang ada di negara Indonesia ini menjadikan semakin merosotnya minat sebagai pustakawan. Kesenjangan tersebut terlihat dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap profesi pustakawan, jika dibanding dengan profesi yang lain. Dengan tidak adanya standar kompetensi pustakawan, maka secara langsung kualitas dari pustakawan itu sendiri masih perlu dipertanyakan lagi. Sehingga, otomatis juga berdampak pada kebijakan tentang konsekuensi logis yang akan diterima pustakawan sebagai hasil dari kompetensi yang dimiliki.


DAFTAR PUSTAKA

Hermawan, Rachman dan Zulfikar Zen. 2006. Etika Kepustakawanan, Suatu Pendekatan terhadap Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto.

Purwono. 2013. Profesi Pustakawan Menghadapi Tantangan Perubahan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

www.pemustaka.com. Diakses pada Kamis, 19 September 2013, pukul 10.35

Akumenuliskarenaallah.blogspot.com. Diakses pada Kamis 19 September 2013, pukul 10.42

Kober.tripod.com. Diakses pada Kamis, 19 September 2013, pukul 10.48

www.4shared.com. Diakses pada 24 September 2013, pukul 21.07

eprint.rclis.org. diakses pada 24 September 2013, pukul 21.16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar